Jumat, Januari 30, 2009

Kapan Nyusul .... ?



Prosesi Pernikahan, sebuah ritual sakral yang menyimpan kodian cerita bagi mereka yang menjadi bagian di dalamnya. Bagi sang mempelai, ritual itu bisa jadi salah satu orde lompatan tahapan hubungan dua insan ke jenjang yang lebih tinggi, bagi orang tua bisa jadi sebuah kelegaan luar biasa karena telah berhasil mengentaskan putra-putri mereka ke kehidupan baru, bagi sebagian tamu undangan yang sudah berkeluarga, bisa jadi pengingat kenangan indah menjadi raja sehari yang dulu pernah dilakoni, bagi yang belum dan hendak melangkah kesana bisa jadi ritual ini inspiratif dan mengkatalis harap dan cita untuk segera menyusul. Namun bagaimana dengan yang masih damai melajang, atau punya pacar namun tidak kunjung kawin juga ? Amat sangat bisa ditebak akan banyak tepukan dari para pinisepuh mampir ke bahu mereka dengan satu rangkaian kalimat yang nyaring melafal sama : “Kapan Nyusul ?”.

Reaksi “korban” bisa amat beragam laiknya deret warna pelangi, dari jawaban berbuih-buih melingkar ala filsuf, lidah kelu nan tergagap melafal deretan aiueo sampai yang hanya nyengir asem laksana domba kurban hendak disembelih.

Beberapa yang tetap jalan ditempat atau mengalami mentok di progress akhirnya mau tidak mau pasrah untuk menjadi korban permanen tepukan pundak di setiap acara keluarga dengan membiasakan diri ikhlas nrimo dengan hujanan pertanyaan pendek nan menghujam itu, sementara beberapa sudah tak sabar menunggu digelarnya perhelatan lain yang semirip senada ritual kondangan untuk sekedar menyamakan skor atau menuntut impas, dan acara itu adalah prosesi pemakaman.

Lho kok bisa.. ? Sama halnya dengan kondangan, prosesi kematian (penguburan) memang relatif kelam dan menyedihkan, 180 derajat dengan hajat kawinan yang bertabur suka-cita, namun keduanya sama-sama melibatkan hadirnya keluarga, sanak saudara, teman maupun kerabat. Coba bayangkan rasanya jikalau si korban tepukan bahu “ kapan nyusul?” kini gantian menghampiri deretan pinisepuh untuk kemudian menepuk pundak mereka dan nyaring melafal : “Kapan nyusul?”

Gubrak… !!!

Selasa, Januari 27, 2009

Roman (tidak) Picisan ...

Mendinamisasi statisme akut, sepertinya butuh sedikit tekanan untuk lebih memaknai hari yang makin hari makin biasa, tak ada lompatan yang berarti, tak lebih sekedar obyek perputaran waktu … pagi kemudian siang terus malam dan pagi lagi. Mulai kental mengendap di tiap helai labirin simpul syaraf rasional bahwa kenikmatan hidup dalam ritme standar tak lagi menarik untuk dijalani, tak lagi membanggakan untuk dipamerkan and sorry to say : mati rasa untuk diperbincangkan. Ironisnya lagi tak punya banyak pilihan untuk melakukan perubahan ..mppfff

Rasa bersalah yang melingkup hanya berlaku dalam hitungan detik, kegalauan hati ketika tak sadar mengkalkulasi nominal umur yang makin senja sepertinya menguap begitu saja tanpa sempat menelaah tanggung jawab sosialnya. Laiknya pecundang sejati, pilihannya pasti menikmati ketimbang melawan, keeping the day and the next day just like the older day, kembali asyik menggumuli pusaran waktu yang terasa amat luang dan tak berharga, kembali menafikan detak perputarannya dengan ajeg melakukan dan menghasilkan NOTHING !!!!

Sampai ketika, akhirnya getaran rasa tak biasa memaknai rambatan waktu yang biasa menjadi sedikit tidak biasa, sebuah MILESTONE dari ke-maha-biasa-an. Repertoar baru telah dimulai, auranya yang mistis meluluhkan telah memupus lelahnya batin dengan rahasianya. Di bilur senyapnya bersemayam keindahan yang melelapkan. Sejuk hembusnya nikmat terhirup sementara nafas mendesah tulus membisik doa, pasrahkan diri terhanyut mimpi kemana akan membait cerita. Sebuah rajutan cerita yang menggaris nasib berjumpa SANG PENGGETAR HATI, yang gurat ayunya tenang meneduhkan, yang senandung merdunya mampu luruhkan sepi hati, yakinkan pasti bahwa AKU TIDAK LAGI SENDIRI.

Applaus tulus tiada akhir untuk rasa bernama CINTA, yang telah mampu memberi dan memaknai bentang hidup dengan sengatan rasa yang sungguh LUAR BIASA …

Suatu lompatan kedepan yang berarti ? ataukah kemunduran langkah dalam hitungan generasi ? atau malah degradasi akal sehat dalam skala kuantum ?

Waallahu’alam bi shawab.

- dedicated 2 ade' .. my sunshine after the rain -

Kamis, Januari 15, 2009

(sebuah) REPERTOAR

a tribute to Pak Agung DTU :

Assalamualaikum

Masih terngiang di ingatan saat Jum’at sore jelang maghrib di Dahana Jakarta, di petak 4 X 6 m ruang GM DTU, sebuah repertoar gitar klasik pernah berlangsung, sebuah hadiah khusus bagi dua audiencenya.

Dentingan-dentingan nada yang lahir dari senar nylon hasil permainan jemari di petak fingerboard 19 fret, Kombinasi lintasan jemari kiri dengan gerakan horizontal maupun petikan jari-jari tangan kanan yang melintas keenam dawai secara vertikal berhasil menciptakan pitch yang nyaris sempurna, lincah mendenting mulai dari Capriccio,Op.1 No.24, Romance de Amor, beberapa gubahan Chopin sampai Ayat-ayat Cinta-nya Rossa. Alunan gitar klasik yang telah hadir sejak tahun 1700an dengan nama viheula ini seakan fasih bertutur, membahasakan deret demi deret partitur yang memenuhi gendang kuping, laksana opium nan tenang membius dan seolah membawa sejenak raga ke dimensi lain, jauh meninggalkan dunia nyata. Sejenak nafikan riak-riak di awal tahun dari mulai menjamurnya demontrasi yang pasti berujung ricuh, kacaunya distribusi BBM, membaranya perang di jalur gaza, sampai polemik internal dari mulai SKEP baru penggunaan mess, asuransi kesehatan, pemutihan email, LPJ konsultan budaya sampai bursa calon direksi.

laiknya seperti mengikuti repertoar musik klasik, beberapa gubahan musik klasik bisa jadi terasa berat di kuping dan memusingkan, namun terbukti klinis efektif bagi ibu-ibu hamil untuk merilekskan diri dan janin diperutnya dengan stimulasi kognitif yang mampu menstimulasi perkembangan sel-sel otak bakal oroknya secara seimbang. Pun dalam menjalani hidup dalam suatu lingkup organisasi dengan segala dinamika dan pernik pasang surutnya, amat jadi beberapa yang tidak suka atau kurang nge-tune dalam menangkap esensi keindahannya memilih untuk langsung meninggalkan repertoar. Beberapa yang tetap tinggal bisa jadi karena mencoba adaptif atau bahkan sudah mampu memuarakan keindahannya, namun bisa jadi juga karena memaksakan diri bertahan dengan segala ketidaknyamanan yang diterima karena alasan dan pertimbangan masing-masing.

Konsistensi latar nada yang selalu mengalun didalamnya yang memuskilkan lahirnya jeda agar tetap terciptanya harmoni dan keindahan dengan keteraturan di dalam pakemnya yang tegas karena kekuatan dogma bernama susunan partitur, untuk lingkup organisasi dapat diartikan bahwa setiap riak yang melingkupi perputaran proses bisnis dengan rentang penerimaan terhadap kebijakan atau peraturan organisasi mulai dari yang menikmati atau memaksa untuk menikmati, selama masih dalam satu ruang repertoar atau satu payung organisasi maka harus tetap menjaga proses bisnis bergulir dan digulirkan agar nafas organisasi ajeg hidup dan langgeng bertumbuh.

Wassalam.