Jumat, April 24, 2009

16 cm ...

Assalamualaikum …

16 cm dong ... ” ujar sohib A dengan intonasi mantap saat mencuat pertanyaan seputar jawaban soal berapa panjang uang pecahan 1000 perak. ” 14 cm...” sanggah sohib B sambil mengunyah potongan martabak asin sisa semalam. Drama debat kusir pun pecah tak terelakkan secara dua-duanya tidak yakin juga mana yang benar atau salah. Akhirnya pembuktian paling mendasar namun tetap academic smart dipakai yaitu dengan bantuan mistar untuk memastikan siapa juara diskusi tidak penting ini. Lembaran kertas yang didominasi warna hijau bergambar Kapitan Patimura itupun akhirnya digelar untuk siap diukur berapa panjang sejatinya. ” Tunggu dulu, 100 ribu bagi yang bener...berani ngga’..? tantang sohib B kepada sohib A. Dan ternyata tantangan itu direspon negatif oleh sohib A yang ternyata tidak cukup nyali untuk berhitung probabilitas kemungkinan benar-salah yang dibahasa verbalkan yang bersangkutan dengan cengiran senyum asem sembari tergagap berujar ” ga usah segitunya kalee ...”.

Sebabak adegan yang sekali lagi tidak penting di kamis pagi yang berhias mata merah karena belum sempat memicingkan mata sejak semalam itu ternyata membawa ingatan akan prosesi wajib yang sebelumnya wajib dilakoni para eselon 5-6 plus beberapa dari eselon 4, prosesi pengukuran kompetensi bertajuk assesment.

Belum lekang di ingatan beberapa kejadian menarik (atau lebih tepatnya lucu) saat menjadi bagian (objek) sekaligus penyaksi prosesi wajib yang berformat computer-based alias langsung head-to-head dengan laptop berisi rentangan pertanyaan yang syahdan didesain sedemikian rupa untuk mengukur kemampuan intelegensi maupun personal soft competency.

Dari mulai gaptek teknologi alias sudah terlanjur mengakar dengan mesin ketik, merasa dikerjain karena harus mengerjakan ulang puluhan soal karena faktor program error, terlonjak terkaget-kaget saat layar mendadak blank pertanda waktu mengerjakan sudah habis, asyik mengerjakan di kertas dan lupa mengeklik jawaban di laptop yang berujung penyesalan, atau bahkan memelototi layar yang telah blank di depannya dengan tatapan yang saruwa blank oge ...

Nah bener kan ... 14 cm... ” lengking sohib B membuyarkan runtutan flashback memori prosesi asessment kemarin sambil menunjukkan hasil ukuran mistar di lembaran 1000 perak kepada sohib A yang cuman bisa manggut-manggut seperti domba mules karena sarapan kepagian. Kecewa jawaban salah membersit jelas dimukanya meski 100 ribu di dompetnya selamat, namun di tengah gelegak tawa kemenangan sohib B ternyata masih menyisakan harap-harap nan mencemaskan ketika buncahan berita ala Korporasi Tercinta kembali santer mendengung laiknya pawai kumbang madu jantan di musim kawin yang mengusik ambang resah, resah akan kalkulasi skor akhir yang bakal melahirkan vonis antara LULUS atau TIDAK LULUS.

Telo godhog ... sekali lagi atmosfer kegelisahan telah dikataliskan ke seluruh ruangan dan terbukti mujarab untuk menciptakan kesenyapan yang melingkupi 3 orang objek wajib assessment didalamnya dengan pikirannya masing-masing, yang kalau diproyeksikan ke infokus bisa jadi tersorot gambaran yang relatif sama ... lulus dan ada kemungkinan bakal naik fulus atau tidak lulus dan bakalan menggendong tunjangan selisih untuk beberapa saat lamanya ....

Ohh Tidakkkk ......

Wassalam.

SALAH PILIH ..

Assalamualaikum …

” Jadi begini Mas ... setelah sekian waktu, sepertinya saya merasa telah salah pilih ” ujar sohib A dengan nada parau tercekat.

Bujubilee .... coffee time yang nyaris sempurna dengan obrolan ringan di sore berbalut derasnya hujan sejak siang sepertinya langsung lekang dengan sempurna pula, gulir deras hujan di luar seakan terlekat lem di pepohonan, sohib B pun tak kuasa untuk batuk-batuk tersedak kopi hitam yang nyesek di kerongkongan dan akhirnya heninglah yang merajai ruangan. Asem tenan ... sebuah statemen yang dengan sempurna telah berhasil meng-eksekusi damainya sore dengan suatu letupan kegelisahan yang endemik.

Atmosfer senyap tidak berumur panjang ... sesaat kemudian mengalirlah cerita babak demi babak yang dituturkan sohib A secara kronologis berkisah seputar pilihannya yang dulunya dianggap PAS namun dalam perjalanannya dirasa menjadi TIDAK PAS alias SALAH PILIH. Segala asa dan cita yang coba diskenario dan dibangun di awal musim saat memutuskan untuk memilih sepertinya sekarang harus layu di tempurung kelapa. Mungkin barisan kerut semi-permanen di dahinya adalah gambaran akumulatif betapa tak terhitung lagi kernyitan jidat akibat mis-kalkulasi skenario awal yang ternyata berujung mentok ke tembok dan akhirnya menyisakan rasa sesal berkepanjangan.

” Salah pilih bagaimana ?” lengking sohib B yang akhirnya tak kuasa lagi menahan lidahnya yang sejak tadi menjuntai-juntai untuk memaparkan pledoi yang amat paradoks. ” kalau konsekuensi dari suatu pilihan pastinya memang ada, entah itu for better or for worse. Kalau loe merasa salah pilih berarti dulu ngga’ ngukur kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi secara kita bersama tau bahwa hidup tak selamanya ideal seperti yang kita mau, masalahnya adalah gimana loe mensikapi ketidakidealan itu, loe bebas-bebas saja untuk hengkang, tetep bertahan sambil merengek mengutuk keadaan yang tak bakalan merubah apapun selain nambah sakit hati atau loe mau fight dan survive dengan bertindak taktis-strategis ” lanjut sohib B dengan berapi-api.

Seperti vampir sakit gigi, ngga’ ada satu patah katapun ingin kukatakan apalagi menjustifikasi dengan menunjuk hidung berminyak mana yang salah dan mana yang bener, karena ngiangan ucapan senior di tempat kerja dulu sepertinya lekat menyisip sinyal-sinyal ke radar pemikiran :
Ojo sepisan-pisan ngisingi piring manganmu ” (jangan pernah sekalipun memberaki piring makanmu).


Wassalam.

Kamis, Februari 19, 2009

SENAM OTAK ...

Assalamualaikum …

Menatap datar sohib yang matanya seakan lengket pada monitor 14 inchi dihadapannya, perlahan dan berulang menaikturunkan kursor, memelototi sungguh halaman demi halaman dengan sungging senyum yang makin lebar menganga ketika semakin dekat di penghujung akhir halaman ... dan tuk tuk tuk ... dalam satu eksekusi akhir pencetan OK maka terdengar gemerisik printer mencetak helai demi helai dokumen full-colour bertabur tabel grafik yang amat menggetarkan mata telanjang.

”Coba baca Mas ...” kata sohib sembari menyerahkan bundel print-out dengan tanpa sungkan lagi menyembunyikan pancaran kepuasan telah berhasil menelurkan suatu konsep baru yang diklaim fresh dan breaktrough, suatu maha karya yang diprediksi bakal ”fenomenal”, dan kalo sempat membaca isi hatinya pasti bakal terdengar lengkingan : ” it’s show time, Man ... ”

Begitu halaman demi halaman mulai dibaca, langsung kesampingkan dulu memukaunya gurat lekuk grafik dan tabel yang pastinya tidak mudah untuk diintepretasi dalam sekali baca karena pastinya hasil olahan 1001 referensi yang tentunya sudah dimasak serenyah mungkin oleh si sohib. Kalau langsung bilang bagus bin OKE sepertinya tidak seru... dan rasanya juga tidak perlu berpikir keras mencerna baris demi baris kalimat yang penuh teori nendang ke langit, cukup andalkan logika berpikir dan mencermati keruntutan metode dan teknik pembahasaan si sohib untuk kemudian sebentar menarik nafas panjang, pasang muka datar dan berbisik dalam hati : ” bersiaplah masuk arena SENAM OTAK bersamaku, Sobat ...”.

Belum sempat si sohib dengan kilauan gurat pede abis di wajahnya memastikan tentang betapa ruarr biasa hasil olah-ciptanya, atas nama mengukur konsistensi dan kekuatan si sohib dalam mempertahankan maha-karya yang tadi amat sangat diagungkan, maka guyuran baris taklim pernyataan dan pertanyaan yang melenting datar dari titik kutub ekstrim yang amat berlawanan dilontarkan untuk masuk bertalu-talu memenuhi gendang telinganya, mencoba memberi efek kejut relatif yang bisa jadi berpotensi menaikkan adrenalin dan level emosi jikalau tidak waspada dan tidak nyadar kalau sedang diajak SENAM OTAK.

Diskusi yang alot terjadilah dan pastinya beda dengan head-to-head para kandidat RI-1 di media... namun ujung-ujungnya tetap sama : ”Mas... sampeyan ngeseliinnnnn ...!!!!”.


Wassalam.

Rabu, Februari 04, 2009

Lha Bisamu Apa ... ?

Sebaris letupan pernyataan seorang karib yang (bisa jadi) tidak serius dan haqul yakin masuk di koridor guyon… pun ternyata mampu mengkatalis suatu pertanyaan besar, sudah tersimpul matikah jejaring syaraf otak sehingga kelu kata, mati gaya dan (akhirnya) hanya mampu nyengir kuda untuk sekedar menjawab pertanyaan mendasar seperti itu ?.

Memang sungguh luar biasa gawat (baru nyadar) … menjawab apa yang kita bisa saja tidak bisa… mengejakulasi ide ternyata juga tidak mudah… dan liarnya fantasi sepertinya sudah nyenyak meringkuk di peti mati …. dan bayangan bakal hinggapnya stempel bego menggurat jidat seakan tak terhindari lagi.

Refleksi ke-tidakterima-an itu menstimuli instan saklar ego untuk mengalirkan pemikiran tergesa ke ujung lidah berupa pembelaan diri dengan segala pledoinya. Pun insting spionatif yang melingkup ruang kesadaran, untuk kemudian mencuatkan pertanyaan kritis sinis … sedemikian sederhanakah parameter untuk mengkalkulasi kemampuan seseorang ? bahwa ketidakmampuan mengetahui dan menjawab satu atau suatu pertanyaan dianggap sebagai gambaran menyeluruh ketidakmampuan yang lain …?

Ngemeng-emeng … Mengapa harus paranoid sambil nyakarin tembok kalo disebut bego ? Bukankah bego itu dinamis dan menantang ? secara siklus PDCA akan selalu bergulir untuk memampat jurang lag tersebut agar tetap bisa survive hidup di populasi manusia standar …

Tetep tidak terima dikatain bego ? mari ambil parameter sederhana dengan bertanya pada diri sendiri tentang seberapa mumpuni kita melihat, mendengar dan menyikapi sesuatu. Jikalau mengintepretasi sesuatu saja masih sering tidak pas dan cenderung kurang elegan menyikapi hal-hal yang tidak kasat mata sepertinya kita kudu berbesar hati di stempel cap bego.

Masih keukeuh berkata no way for bego ? apa ya harus maksain ngikut prosesi macam fit & proper test, assessment dan seabreg parameter tools lainnya yang syahdan didesain untuk mengukur kemampuan diri, sementara kitanya sendiri masih terkaget-kaget mempertanyakan ke-shahih-an hasilnya …

Lha terus maunya gimana ? bingung lagi ngejawabnya ? atau malah marah … ?

Yo wis … Selamat bergabung di komunitas orang bego ...

Senin, Februari 02, 2009

(akhirnya) Kram Ide

Assalamualaikum …

Hari ini … hal yang paling menakutkan bagi suatu amanah profesi berjuluk kontributor kolom yang diteralis deadline dengan siklus yang ajeg melingkup akhirnya datang juga …momok itu tak lain dan tak bukan adalah keringnya inspirasi, matinya ide atau dalam bahasa lebay : gagalnya proses ejakulasi gagasan ke dalam bentuk tulisan.

Ide seakan terang-terangan berselingkuh dan hilang melambai-lambai di langit ketujuh, barisan tuts keybord pun terlanjur jamuran kelamaan dianggurin dan jemari yang biasanya tangkas mentransfer bulir-bulir gagasan dari otak pun akhirnya hanya nyakarin tembok untuk mengkamuflase dicuekin tuannya yang lagi terjangkit gejala kram ide, suatu gejala penyempitan pembuluh imajinasi yang mengkatalis anfal logika yang pada akhirnya mampu membujurkan ide ke kiblat untuk siap ditahlilkan sampai 7 hari mendatang….ihhh...serem amir …

Tantangan untuk selalu ON FIRE pada amanah tambahan yang teremban dengan ajeg menelurkan tulisan dengan skor tidak malu-maluin sepertinya sedang masuk di teritori labil karena carut distorsi dalam berbagai tekstur. Pastinya akan terlihat konyol jika mengalamatkan sumber carut itu ke day-to-day activity, yang notabene merupakan wajib utama selaku abdi-dalem dengan job roles yang telah digariskan. Namun menafikan amanah tambahan pastinya juga tidak bijaksana karena sudah merupakan komitmen, jadi sepertinya tidak ada pilihan kecuali mengeksekusi keduanya berdasar skala prioritas dan bisa ditebak mana yang bakal dinomorduakan … jadi tak lebih sekedar memecah bisul tanggung jawab dengan buncahan-buncahan lenguh yang coba dibahasatuliskan dengan pendekatan nggambleh

Dan akhirnya skak-mat … bye bye KRAM IDE, see you again sometimes … walahhh...

Wassalam.

Jumat, Januari 30, 2009

Kapan Nyusul .... ?



Prosesi Pernikahan, sebuah ritual sakral yang menyimpan kodian cerita bagi mereka yang menjadi bagian di dalamnya. Bagi sang mempelai, ritual itu bisa jadi salah satu orde lompatan tahapan hubungan dua insan ke jenjang yang lebih tinggi, bagi orang tua bisa jadi sebuah kelegaan luar biasa karena telah berhasil mengentaskan putra-putri mereka ke kehidupan baru, bagi sebagian tamu undangan yang sudah berkeluarga, bisa jadi pengingat kenangan indah menjadi raja sehari yang dulu pernah dilakoni, bagi yang belum dan hendak melangkah kesana bisa jadi ritual ini inspiratif dan mengkatalis harap dan cita untuk segera menyusul. Namun bagaimana dengan yang masih damai melajang, atau punya pacar namun tidak kunjung kawin juga ? Amat sangat bisa ditebak akan banyak tepukan dari para pinisepuh mampir ke bahu mereka dengan satu rangkaian kalimat yang nyaring melafal sama : “Kapan Nyusul ?”.

Reaksi “korban” bisa amat beragam laiknya deret warna pelangi, dari jawaban berbuih-buih melingkar ala filsuf, lidah kelu nan tergagap melafal deretan aiueo sampai yang hanya nyengir asem laksana domba kurban hendak disembelih.

Beberapa yang tetap jalan ditempat atau mengalami mentok di progress akhirnya mau tidak mau pasrah untuk menjadi korban permanen tepukan pundak di setiap acara keluarga dengan membiasakan diri ikhlas nrimo dengan hujanan pertanyaan pendek nan menghujam itu, sementara beberapa sudah tak sabar menunggu digelarnya perhelatan lain yang semirip senada ritual kondangan untuk sekedar menyamakan skor atau menuntut impas, dan acara itu adalah prosesi pemakaman.

Lho kok bisa.. ? Sama halnya dengan kondangan, prosesi kematian (penguburan) memang relatif kelam dan menyedihkan, 180 derajat dengan hajat kawinan yang bertabur suka-cita, namun keduanya sama-sama melibatkan hadirnya keluarga, sanak saudara, teman maupun kerabat. Coba bayangkan rasanya jikalau si korban tepukan bahu “ kapan nyusul?” kini gantian menghampiri deretan pinisepuh untuk kemudian menepuk pundak mereka dan nyaring melafal : “Kapan nyusul?”

Gubrak… !!!

Selasa, Januari 27, 2009

Roman (tidak) Picisan ...

Mendinamisasi statisme akut, sepertinya butuh sedikit tekanan untuk lebih memaknai hari yang makin hari makin biasa, tak ada lompatan yang berarti, tak lebih sekedar obyek perputaran waktu … pagi kemudian siang terus malam dan pagi lagi. Mulai kental mengendap di tiap helai labirin simpul syaraf rasional bahwa kenikmatan hidup dalam ritme standar tak lagi menarik untuk dijalani, tak lagi membanggakan untuk dipamerkan and sorry to say : mati rasa untuk diperbincangkan. Ironisnya lagi tak punya banyak pilihan untuk melakukan perubahan ..mppfff

Rasa bersalah yang melingkup hanya berlaku dalam hitungan detik, kegalauan hati ketika tak sadar mengkalkulasi nominal umur yang makin senja sepertinya menguap begitu saja tanpa sempat menelaah tanggung jawab sosialnya. Laiknya pecundang sejati, pilihannya pasti menikmati ketimbang melawan, keeping the day and the next day just like the older day, kembali asyik menggumuli pusaran waktu yang terasa amat luang dan tak berharga, kembali menafikan detak perputarannya dengan ajeg melakukan dan menghasilkan NOTHING !!!!

Sampai ketika, akhirnya getaran rasa tak biasa memaknai rambatan waktu yang biasa menjadi sedikit tidak biasa, sebuah MILESTONE dari ke-maha-biasa-an. Repertoar baru telah dimulai, auranya yang mistis meluluhkan telah memupus lelahnya batin dengan rahasianya. Di bilur senyapnya bersemayam keindahan yang melelapkan. Sejuk hembusnya nikmat terhirup sementara nafas mendesah tulus membisik doa, pasrahkan diri terhanyut mimpi kemana akan membait cerita. Sebuah rajutan cerita yang menggaris nasib berjumpa SANG PENGGETAR HATI, yang gurat ayunya tenang meneduhkan, yang senandung merdunya mampu luruhkan sepi hati, yakinkan pasti bahwa AKU TIDAK LAGI SENDIRI.

Applaus tulus tiada akhir untuk rasa bernama CINTA, yang telah mampu memberi dan memaknai bentang hidup dengan sengatan rasa yang sungguh LUAR BIASA …

Suatu lompatan kedepan yang berarti ? ataukah kemunduran langkah dalam hitungan generasi ? atau malah degradasi akal sehat dalam skala kuantum ?

Waallahu’alam bi shawab.

- dedicated 2 ade' .. my sunshine after the rain -